Scroll untuk baca artikel
Opini

Pandemi Yang Menggerus Narasi Keagamaan

×

Pandemi Yang Menggerus Narasi Keagamaan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yusuf Blegur

Saat pandemi begitu nyata memicu kematian. Rakyat Indonesia mulai tunduk dan taat pada logika pandemi. Tidak peduli pada kematian-kematian disebabkan oleh faktor lain yang saban hari pula terjadi dan tak kalah hebatnya dari pandemi. Semisal karena penyakit kronis lain seperti DBD, jantung, stroke dll., karena kecelakaan lalu-lintas, karena kelaparan dan kemiskinan, karena bunuh diri, karena kejahatan, karena takdir-takdir hidup dan kematian lainnya.

Pada akhirnya masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia, mengalami apa yang disebut telah kehilangan spiritualitas dalam menyikapi Covid-19. Dunia justru mengabaikan cara pandang spiritualitas yang seharusnya menjadi esensial ketika soal hidup dan mati itu menjadi ‘mainstream’ pandemi.

Scroll untuk baca artikel

Selain itu, dunia juga telah membiarkan populasinya kehilangan keyakinan tunggal terhadap fenomena pandemi. Covid-19 melahirkan keberagaman identifikasi sekaligus multi tafsir penanganannya. Dalam persfektif internasional, pandemi ini bukan hanya menjadi kontroversi dan polemik. Ia juga menjadi pengecualian ditengah keseragaman isu-isu demokratisasi, HAM, pemberantasan korupsi, lingkungan hidup, dll., sebagai komitmen bersama dunia dalam memajukan peradaban manusia.

Dalam pergaulan internasional ada beberapa negara yang terdampak Covid-19, namun cepat melakukan ‘recovery’ tanpa membiarkan negaranya luluh-lantah. Bahkan ada beberapa negara yang terbebas setelah setahun lebih pandemi itu menggejala. Setidaknya ada kelonggaran aturan penerapan prokes, seperti bebas penggunaan masker. Sebut saja ada 8 negara seperti yang dilansir CNBC Indonesia, berhasil keluar dari krisis Covid-19 tanpa membutuhkan waktu yang lama dan membiarkan pandemi mengoyak-ngoyak kehidupan rakyatnya. Mereka adalah Amerika Serikat, China, Israel, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, Hungaria dan Bhutan. Secara umum negara-negara tersebut telah mengalami pemulihan dari pandemi dan ditandai dengan bebas berkegiatan dan berkumpul tanpa penggunaan masker, setelah kebijakan lockdown dan vaksinasi yang dilakukan pemerintahnya. Menariknya, China yang menjadi pelopor dan episentrum penyebaran wabah Covid-19, meski sempat terdampak ekonomi akibat pembatasan sosial, menjadi negara yang termasuk cepat keluar dari krisis Covid-19.

Begitupun dengan belahan dunia lain, tercatat ada 11 negara yang sejak awal Covid-19 mengemuka. 11 negara itu yakni Turkmenistan, The Cook Island, Tuvalu, Tonga, Pitcairn Island, Palau, Niue, Nauru, Kiribati, Tokelau, dan Micronesia. Berdasarkan release detikheal-detikcom yang mengangkat data dari Worldpmeter, 11 negara tersebut merupakan negara yang hingga Januari 2021 masih terbebas dari pandemi ditengah kasus Corona sudah mencapai lebih dari 95 juta dengan 95.482.598 terinfeksi dan 2.039.653 angka kematian.

Kini tidak lebih dari kurun waktu 6 bulan setelah itu, dunia masih diselimuti lonjakan tajam pandemi virus Corona. Kenaikan signifikan hingga 15 Juli 2021 ada 189.130.509 terinfeksi, dengan angka kesembuhan 172.772.365 dan kematian sebanyak 4.073.935. Masih dari sumber yang sama, oleh Worldometer yang dikutip Kompas.com. Statistik kasus Corona itu memapar tertinggi didunia pada 5 negara, yaitu:

  1. Amerika Serikat

Dengan angka total kasus 34.846.617, 29.324636 sembuh dan 623.801 meninggal.

  1. India

Dengan total kasus 30.986.803, 30.136.483 sembuh dan meninggal 412.019.

  1. Brazil

Total kasus 19.209.729, sembuh 17.856.633 dan 537.489 meninggal.

  1. Rusia

Total kasus 5.857.002, sembuh 5.257.483 dan kematian 155.278.

  1. Perancis

Total kasus 5.829.724 dan meninggal 111.413.

Sementara Indonesia, mencapai rekor tertinggi di dunia untuk kasus harian infeksi Corona. Seperti catatan Kompas.com yang dilansir dari Reuters. Negara dibawah kepemimpinan Jokowi itu, hingga 14 Juli 2021 mengumbar total kasus positif Corona sebanyak 2, 26 juta. Angka kematian baru 991 dari total kematian 69.210. Kondisi tragis yang tidak hanya membuat Indonesia terisolasi dari dunia, namun juga mengalami keterpurukan dalam berbagai sendi kehidupan rakyatnya. Jokowi kini berdiri dengan gonjang-ganjing politik, kemerosotan ekonomi dan tingkat ketidakpercayaan rakyat yang tinggi dari kepemimpinannya mengelola negara.

Sejumlah angka kematian massal yang mengerikan akibat pandemi, tak ubahnya ironi sebuah genosida di tengah modernitas jaman dengan kemajuan rekayasa teknik dan sosial.

Dipersimpangan Rasionalitas dan Moralitas

Seperti perang dunia, wabah Covid-19 yang berkecamuk, banyak memakan korban jiwa, kehancuran mental-psikologis dan menimbulkan reruntuhan tatanan sosial. Pandemi kali ini seiring penyebarannya, membawa kecemasan dan ketakutan global. Masyarakat dunia mendapatkan intimidasi dan teror dari musuh bersama yang nyata tapi tak terlihat dan mematikan.

Efek pandemi begitu kuat merubah pola pikir, kebiasaan dan aturan hidup normal masyarakat yang sudah berlangsung lama sebelumnya. Kebudayaan, ideologi dan agama semakin terpinggirkan. Daya jangkau dan akselerasi wabah Corona, juga diperburuk dengan tidak adanya otoritas dan representasi dari semangat internasional dalam mengelola Covid-19. Kelembagaan WHO sebagai bagian dari PBB yang mengatur hubungan antar negara di dunia dalam hal kesehatan. Sejauh ini dianggap gagal karena belum mampu menghentikan laju pandemi. Begitu juga dengan kelembagaan dan profesi terkait dunia kesehatan. Terbelah dan saling menegasikan.

Krisis Corona sejauh ini telah berhasil mencabut sebagian besar orang dari akar kemanusiaannya sendiri. Tidak adanya sistem penjelasan yang utuh yang bersandar pada aspek ilmiah dan medis. Menjadikan virus Corona sebagai keniscayaan dan menimbulkan pasar raya tafsir pandemi seantero Jagad. Penelitian dan pengkajian Covid-19 belum dapat menghasilkan argumentasi, kesimpulan dan dokumen kesehatan yang universal secara substansi. Eksplorasi pandemi virus Corona masih kental dibayangi aroma bisnis dan politik. Mulai dari opini tentang apa dan bagaimana Covid-19, industri dan perdagangan vaksin, agenda politik berisi perang asimetris dan penggunaan senjata biologis, hingga membawa umat manusia pada transisi nilai lama ke tata dunia baru. Dunia dimana masa depan kehidupan manusia menuju poros tunggal. Suatu kehidupan antar negara di dunia yang sentralistik, dalam penguasaan kapitalisme dan imperialisme gaya baru. Pada proses dan tujuan itu, dinamika dan konstelasi tata pergaulan internasional rentan diwarnai dengan “proxy war” (perang tanpa bentuk) dan CBRN-E (Chemical, Biological, Radiologycal, Nuclear dan Explosive). Metode perang yang kini relevan berorientasi pada penguasan sumber daya alam, dengan cara yang tak lazim dan tanpa penggunaan kekuatan militer. Perang tanpa bentuk dan menggunakan “cyber crime” yang kerusakan dan daya hancurnya melebihi bom nuklir sekalipun.

Panen Buah sekulerisme

Indonesia sejak menjadi bagian dari paparan pandemi Covid-19. Secara perlahan tapi pasti menjadi negara yang terus mengalami kemerosotan baik dalam pembangunan sumber daya manusianya maupun pada pengelolaan sumber daya alamnya. Lebih mengalami perburukan saat wabah Corona mendekati puncaknya dengan virus Corona varian baru. Pemerintah selain gagal menyelamatkan sebagian rakyat meninggal karena pandemi, situasi ekonomi politik juga terus tertekan. Kehidupan rakyat yang semakin sulit menikmati iklim demokrasi yang sehat, susahnya merasakan keadilan baik secara sosial, ekonomi dan politik, ketidakpercayaan pada penegakan hukum serta jauhnya harapan kesejahtreaan hidup akibat kepemimpinan dan pemerintahan yang otoriter dan cenderung diktator. Perlahan namun pasti, membuat Indonesia beresiko dan terancam menjadi negara gagal.

Paling memprihatinkan dan layak menjadi masalah paling fundamental bagi bangsa Indonesia, adalah ketika krisis multidimensi yang bercampur dengan krisis pandemi Covid-19. Pemerintah justru lari dari masalah. Pemerintah bukan mengambil kebijakan dan langkah sebagai solusi, malah menambah beban dan penderitaan rakyat. Ada kesan pemerintah mau cara gampang, membiarkan rakyatnya berjuang sendiri ditengah lilitan masalah yang diciptakan pemerintah. Kekuasaan terus menikmati fasilitas dan kekayaan negara yang sejatinya milik rakyat, sembari melemparkan tanggungjawab kesalahan dan kerusakan negara pada rakyat. Kekuasan yang berseragam pemerintah itu menari-nari dan berpesta pada kelaparan, penderitaan dan kematian rakyatnya.

Situasi dan kondisi sedemikian rupa, merupakan akumulasi dari pelbagai kesalahan mengimplementasikan UUD 1945 dan PancaSila. Pemerintah melalui pola kebijakan dan tata kelola penyelenggaraan negara selama ini, telah menyebakan rakyat tercerabut dari akar spiritualitas kebangsaan. Kekuasaan yang berkiblat pada materialisme, telah berhasil membentuk kehidupan rakyat Indonesia yang kapitalistik dan liberalistik. Kehilangan jati dirinya. Rakyat terlempar dan terjerembab ke dalam kubangan hitam dan kenistaan. Sebagai sebuah negara bangsa yang memisah agama dari negara, dimana rakyat bernaung dibawahnya. Rakyat Indonesia bahkan ikut terpisah dari nilai-nilai moral dan agamanya sendiri. Menjadi manusia sekuler pula, tanpa landasan dan tuntunan hidup yang humanis, bermartabat, dan berakhlak pada suatu ajaran kebenaran (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang hakiki. Maka sejauh itu rakyat, negara dan bangsa Indonesia terus berada dipersimpangan jalan rasionalitas dan moralitas. Bangsa ini akan semakin sulit memahami dan mewujudkan harmoni antara kesadaran rasional materilnya dan kesadaran rasional spiritualnya.

Sebagai sebuah bangsa timur yang dikenal memiliki sejarah dan tradisi saling asih, asuh dan asih. Dengan kekayaan kultur yang heterogen namun terikat oleh karakteristik toleransi dan gotong-royong. Harusnya Indonesia menjadi negara yang tangguh dan memimpin dalam pergaulan dunia. Bukan negara yang menjadi komoditi bagi kepentingan asing. Bukan menjadi korban eksploitasi manusia atas manusia dan bukan menjadi korban eksploitasi bangsa atas bangsa. Kasihan dan menyedihkan nasib PancaSila, sebuah kekayaan agung bangsa Indonesia yang digali oleh para pendiri bangsa, kini dibuang dan dikubur hidup-hidup oleh bangsanya sendiri, setelah diumumkan kematiannya oleh para penguasa.

Tinggalah rakyat dalam kesendiriannya, tanpa pemerintah, tanpa negara dan tanpa pemimpin. Hanya ulama dan habaib yang setia bersama rakyat, itupun digembosi. Rakyat terlanjur diajarkan bertuhan pada materi. Rakyat terlanjur menempatkan logika unggul dan diatas agama. Rakyat terlanjur mengimani kesenangan duniawi. Rakyat begitu nyaman mewarisi sekulerisme oleh penguasa yang sesungguhnya mengidap kronis kapitalisme.

Karena agitasi dan propaganda yang begitu hebat. Ditambah mungkin konspirasi global kepentingan ekonomi dan politik. Hanya pandemi Covid-19 yang mampu menjelma sebagai kekuatan maha dahsyat yang mengancam keselamatan manusia, pada kehidupan dan kematian manusia. Hanya pandemi Corona yang bisa diterima oleh akal sehat penduduk dunia dan sebagian besar rakyat Indonesia, ketimbang penyakit atau kematian sebab yang lain. Hanya dengan bahasa Corona, manusia dapat berdialog. Pandemi Covid-19 telah menggerus narasi agama. Lebih dari itu perlahan dan senyap Corona juga menggeser peran agama dan Ketuhanannya setiap orang. Pandemi tidak saja bisa menjadi episentrum wabah pada negara tertentu. Ia juga dapat menjadi wabah dalam diri manusia, melumpuhkan saraf iman dan aqidahnya.

Wallahu a’lam bishawab.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.